Berdasarkan ciri kehidupan masyarakat zaman praaksara di Indonesia dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1) Masa Berburu dan Meramu Tingkat Awal
Masa berburu dan meramu tingkat sederhana terjadi pada masa Palaeolithicum. Masa berburu artinya mencari binatang, seperti: lembu, kijang, sapi, gajah, banteng, dan kerbau liar. Meramu artinya mengumpulkan makanan dari hasil hutan berupa, daun-daunan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan ubi-ubian seperti: ubi talas, ubi jalar dan keladi. Manusia pendukungnya adalah jenis Pithecanthropus, Megantropus Palaeojavanicus, Homosoloensis dan Homo Wajakensis.
- Hidupnya berpindah-pindah (nomanden);
- mengenal kebutuhan berkelompok dan hubungan antar kelompok sangat erat;
- memiliki pemimpin yang dihormati dan ditaati;
- mengenal pembagian kerja, yaitu: laki-laki bertugas untuk berburu binatang, sedangkan wanita mengumpulkan makanan dari hasil hutan dan mengurus anak.
- Kebutuhan makanan masih tergantung pada alam;
- Kebutuhan akan makanan dipenuhi dengan cara berburu binatang dan mengumpulkan makanan;
- Tempat tinggalnya dekat dengan sungai, dan gua-gua (Abrish Soush Roche).
Pada masa berburu dan meramu peralatan yang digunakan yaitu: kebudayaan pacitan, dan kebudayaan ngandong.
Kebudayaan Pacitan peralatannya meliputi: (1) kapak perimbas, yang digunakan untuk merimbas kayu, menguliti binatang, dan memecah tulang; (2) kapak genggam, digunakan untuk menggali ubi dan memotong daging buruan; dan (3) alat serpih/flakes, seperti: gurdi/linggis (membuat lubang), pisau (memotong), dan tombak untuk berburu. Alat-alat tersebut banyak ditemukan di Pacitan (Jawa Timur). Gombong (Jawa Tengah), Lahat, Kalianda (Sumatra) dan Cibenge (Sulawesi).
2) Masa Berburu dan Meramu Tingkat Lanjut
- Hidupnya mulai semi sendenter (menetap sementara digua-gua);
- Kehidupan masyarakatnya bermukim dan berladang (huma).
- Mengenal gotong-royong
- Mampu menyimpan sisa makanan;
- Mengenal cara penguburan mayat
- Mengenal religi/ kepercayaan
- Mengenal kesenian
Alat yang dipergunakan pada masa berburu dan meramu tingkat lanjut yaitu: kebudayaan pedalaman (Abrish Sous Roche) dan kebudayaan pantai (Kjokken Moddinger). Kebudayaan Abrish Sous Roche yang berupa: serpih bilah yang meliputi: pisau, gurdi, dan batu serta alat-alat dari tulang, antara lain: belati, sudip dan penetak. Kebudayaan Pantai (Kjokken Moddinger) berupa, kapak genggam, kapak pendek/peble, batu pipisan/batu giling yang digunakan untuk menggiling obat/jamu.
3) Masa Bercocok Tanam
Masa bercocok tanam dikenal dengan istilah food producing Masyarakat pendukungnya adalah manusia jenis Homo Sapien (manusia cerdik). Sistem bercocok tanam atau dikenal dengan sistem persawahan dapat menggunakan lahan yang terbatas dan kesuburan tanahnya dapat dijaga melalui pengolahan tanah, irigasi dan pemupukan. Jenis tanaman yang ditanam adalah: padi-padian/biji-bijian, sukun dan pisang. Selain bercocok tanam masyarakat juga sudah mulai beternak. Hewan yang diternak antara lain: kerbau, sapi, kuda, dan unggas. Hewan ternak selain untuk dikonsumsi dagingnya juga digunakan untuk keperluan pengerjaan sawah dan ladang serta untuk alat transportasi.
a) Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masa bercocok tanam ditandai dengan ciri-ciri antara lain: .
- Masyarakat sudah hidup menetap (sendenter) di rumah-rumah panggung. Rumah tersebut dibangun dengan tujuan untuk: menghindari bahaya banjir, serangan binatang buas, dan menghindari serangan musuh.
- Komunikasi anggota kelompok sangat erat
- Berkembang sistem gotong-royong
- Terbentuk semacam pradesa yang dikepalai oleh gramadesa.
- Memiliki pemimpin (kepala suku) yang dipilih melalui musyawarah. Pemilihan pemimpin berdasarkan prinsip primus inter pares menandakan bahwa pemimpin tersebut dipilih diantara mereka yang memiliki kelebihan baik fisik (kuat) maupun spiritual (keahlian).
b) Kehidupan ekonomi
- Kehidupan bercocok tanam di persawahan;
- Kehidupan mulai menetap;
- Mengenal sistem perdagangan yang dikenal dengan istilah Barter/tukar menukar barang.
c) Kehidupan Budaya
Pada masa bercocok tanam, manusia semakin mahir membuat berbagai alat-alat atau perkakas. Alat-alat yang dihasilkan sudah dibuat halus dan fungsinya beraneka ragam yaitu: untuk kegiatan sehari-hari, perhiasan, dan alat upacara keagamaan.
Perkakas yang dihasilkan antara lain: (1) Kapak Persegi digunakan mengerjakan kayu, menggarap tanah dan alat upacara keagamaan; (2) Kapak Lonjong digunakan sebagai cangkul untuk menggarap tanah dan sebagai kapak biasa; (3) Gerabah; (4) Alat pemukul kulit kayu digunakan untuk memukul-mukul kulit kayu hingga halus; (5) Perhiasan berupa gelang dari batu dan kulit kerang.
d) Kehidupan religi/kepercayaan
4) Masa Perundagian
Masa perundagian sangat penting artinya dalam perkembangan sejarah Indonesia. Kata perundagian berasal dari bahasa Bali: undagi, yang artinya adalah seseorang atau sekelompok orang atau segolongan orang yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, pembuatan perhiasan, atau pembuatan sampan. Pada masa perundandagian, Indonesia kedatangan bangsa Melayu Austronesia dari Yunan. Mereka membawa kebudayaan logam dari Dongson. Oleh karena itu, sering disebut kebudayaan Dongson.
a) Kehidupan sosial
- Sistem gotong royong, sangat menonjol;
- Sudah terbentuk desa besar (gabungan beberapa desa)
- Mengenali ilmu pengetahuan, seperti: ilmu perbintangan, arah angin, dan pranata mangsa.
- Masyarakat tersusun atas kelompok petani, pedagang, dan undagi (pengrajin/tukang)
- Ada pengembangan norma-norma kepemimpinan yaitu: ada yang memimpin dan dipimpin.
b) Kehidupan ekonomi
- Mata pencaharian masyarakat bercocok tanam dengan didukung alat-alat dari logam, seperti cangkul, sabit, mata bajak;
- Perdagangan antar pulau sudah maju;
- Peternakan berkembang maju, hewan yang diternak adalah kuda dan unggas.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar di sini...