Masuk dan
berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia telah melahirkan komunitas masyarakat
baru, yaitu masyarakat Islam. Lama kelamaan, komunitas Islam itu semakin besar
dan kuat kedudukannya. Umumnya, masyarakat Islam tinggal di daerah pesisir dan
menyandarkan hidup dari kegiatan pelayaran dan perdagangan. Oleh karena itu,
kehidupan masyarakat Islam lebih baik dan maju dibandingkan dengan masyarakat
yang tinggal di daerah pedalaman yang menynadarkan kehidupannya dari sektor
agraris.
Dalam
perkembangannya, masyarakat Islam telah menjadi kekuatan baru di Indonesia.
Kekuatan masyarakat Islam yang berbasis pada sektor pelayaran dan perdagangan
mampu mengimbangi kekuatan Hindu-Budha yang berpusat di daerah pedalaman yang
berbasis pada agraris (pertanian). Bahkan, masyarkat Islam mulai berusaha untuk
memisahkan diri dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Kota-kota bandar yang
semula berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu-Budha telah berubah menjadi
pusat-pusat kerajaan Islam.
Berdiri dan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, selengkapnya adalah sebagai
berikut:
a. Kerajaan Perlak
Peninggalan Kesultanan Perlak di Indonesia. (foto: pecihitam)
Perlak adalah
kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan
cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun
1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai
bergabungnya Perlak dengan Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang
memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz
Syah (225 - 249 H / 840 - 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada
tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah
pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan
ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
(622-662 H/1225-1263 M). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami
kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah.
Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan
Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja
Tumasik (Singapura sekarang). Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah
yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.
Sultan Makhdum
Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh
Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692
H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir
yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak
merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang
sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak
(kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
b.
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini
didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada
abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok
Semawe sekarang (pantai timur Aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih
berganti memerintah di Samudra Pasai. Rajaraja yang pernah memerintah Samudra
Pasai adalah seperti berikut.
1)
Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar
kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui
perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi
negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
2)
Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah
sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan
dengan Kerajaan Samudra Pasai.
3)
Sultan Malik al Tahir II (1326 - 1348 M). Raja yang bernama
asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke
negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya,
Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya,
Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman
singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan
Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki
oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan
oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai
terutama terkait dengan dominasinya dalam perdagangan rempah-rempah, terutama
lada. Kerajaan ini memiliki pelabuhan yang strategis di tepi Selat Malaka, yang
merupakan jalur perdagangan utama antara Timur Tengah, India,
dan Asia Timur. Kerajaan Samudera Pasai menjalin hubungan dagang yang erat
dengan berbagai negara di wilayah tersebut, termasuk India, Tiongkok, Jawa, dan
bahkan negara-negara Muslim seperti Mesir dan Turki.
Selain itu, Kerajaan Samudera Pasai juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah ini. Raja-raja Pasai memainkan
peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam ke wilayah sekitarnya, termasuk ke
Jawa, Sumatera Barat, dan Semenanjung Malaya. Mereka mendirikan masjid-masjid
dan lembaga pendidikan Islam yang menjadi pusat pembelajaran agama dan
kebudayaan Islam.
Namun, pada abad ke-15, Kerajaan
Samudera Pasai mulai mengalami kemunduran. Salah satu faktor yang berperan
dalam kemunduran ini adalah persaingan dengan Kesultanan Malaka yang semakin
kuat. Kesultanan Malaka berhasil membangun kekuatan maritim yang mengancam
dominasi Samudera Pasai di Selat Malaka. Selain itu, rivalitas internal,
konflik suksesi, dan serangan dari luar juga melemahkan kekuasaan Pasai.
Pada akhirnya, pada pertengahan abad
ke-16, Kerajaan Samudera Pasai secara resmi runtuh ketika Kesultanan Aceh
muncul sebagai kekuatan baru di wilayah tersebut. Kesultanan Aceh kemudian
menjadi penerus pengaruh Islam dan perdagangan Samudera Pasai, menjadi salah
satu kekuatan maritim terbesar di wilayah ini.
Secara keseluruhan, Kerajaan Samudera
Pasai mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-13 hingga ke-14 Masehi sebagai
pusat perdagangan rempah-rempah dan penyebaran agama Islam. Namun, kemunduran
kerajaan ini terjadi karena persaingan dengan Kesultanan Malaka dan
faktor-faktor internal yang melemahkan kekuasaannya.
c. Kerajaan Aceh
Foto: Doc.
Universitas Abulyatama Aceh/Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra
ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar
Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena mundurnya Kerajaan
Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.
Para pedagang
kemudian lebih sering datang ke Aceh. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di
Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua
sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan
pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau
teungku. Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur.
Aceh mengalami
kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada
masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai
Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan,
dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata
pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan
Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh
mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia
kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675).
Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku
dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama'ah.
Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang
sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional
di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam. Terjadilah
asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat,
terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar
abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri,
Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil. Keempat
ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa.
Dalam
kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan
menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang
kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.
d. Kerajaan Demak
dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Biografi Raden
Patah(kompasiana.com)
Demak adalah
kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah
ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang
berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir
abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi
kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak
berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur
Nusantara.
Sebagai
kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh
Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya
adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak
berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang,
Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di
Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar
penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada
lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan
kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai
Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan
hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Raden Patah
kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak memerintah
lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang berani. Ia
berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa. Karena mati
muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Trenggono (1521- 1546).
Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan. Trenggono berhasil
membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1522, pasukan Demak
di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Baru
pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam penyerangan ke Pasuruan
pada tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.
Sepeninggal
Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan
antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya
menjadi raja dan Sunan Prawoto,
putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya
Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
Namun, Arya
Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang
menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang kemudian bergelar
Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaannya
kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang. Sultan Hadiwijaya kemudian
membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran melawan
Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah berupa tanah
di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati,
dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing.
Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur
diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya,
dan Panarukan.
Ketika Sultan
Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo. Pada masa
pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan
pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran
Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan
Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian
memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.
Di bidang
keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat
penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah,
yaitu Masjid Demak.
Dalam bidang
perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting.
Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti
Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah
penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar
dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak
berkembang degan pesat.
e. Kerajaan Mataram
dan Peninggalannya
Sultan Agung
Sumber: Laman
kebudayaan.jogjakota.go.id
Sutawijaya
yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan
pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram.
Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan
Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai
oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah
tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan
para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati
Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat
ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan Sunan
Giri.
Setelah
Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan
Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat
dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran
Sedo Krapyak.
Mas Jolang
kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang bergelar
Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih dikenal dengan
nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai masa keemasan. Di
eranya, Sultan Agung berhasil menguasai banyak daerah kekuasaan di berbagai
wilayah di Jawa. Selain itu, kemajuan Kerajaan Mataram Islam di bawah
kepemimpinan Sultan Agung juga berhasil menyentuh banyak aspek kehidupan
masyarakat saat itu. Beberapa di antaranya ialah pada bidang ekonomi,
keagamaan, budaya, hukum, pemerintahan dan masih banyak lagi. Di masa
kepemimpinannya, Sultan Agung memiliki beberapa kebijakan penting dalam bidang
ekonomi yang diusungnya yakni sektor pertanian, fiskal dan juga moneter.
Pada era
Sultan Agung beliau membangun sektor pertanian dengan memberikan
tanah kepada petani dan membentuk forum komunikasi sebagai tempat pembinaan.
Adapun dalam urusan fiskal, Sultan Agung mengatur regulasi pajak yang tidak memberikan
beban kepada rakyat. Kemudian pada bidang moneter Sultan Agung membentuk
lembaga keuangan untuk mengelola dana kerajaan. Di bidang keagamaan dan hukum Islam,
Sultan Agung juga menerapkan aturan yang sesuai dengan aturan Islam. Tak hanya
itu, ulama pada kala itu juga diberikan ruang untuk bekerja sama dengan pihak
kerajaan. Bahkan, Sultan Agung juga menetapkan penanggalan atau Kalender Jawa
sejak tahun 1633 di mana penghitungan tanggal tersebut merupakan kombinasi
kalender Saka dan Hijriah. Pada bidang kebudayaan dan kesenian, Sultan Agung
juga termasuk pemimpin yang sangat berperan dalam memajukan kesenian
wilayahnya. Menurut sumber sejarah, berbagai jenis tarian, gamelan hingga
wayang sangat berkembang pesat di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Selain
mengawal kemajuan kesenian, Sultan Agung juga turut serta dalam menghasilkan
karya seni berupa Serat Sastra Gendhing. Sastra bahasa di zaman tersebut juga
semakin berkembang ketika Sultan Agung mulai memberlakukan penggunaan tingkatan
bahasa di wilayah luar Yogyakarta hingga Jawa Timur. Sultan Agung juga termasuk
pemimpin yang menginisiasi terbentuknya provinsi dengan memilih adipati sebagai
kepala wilayah di setiap daerah yang dikuasai Mataram.
Sultan Agung
wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677). Amangkurat
I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya. Mataram diserang
oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena dibantu Belanda.
Amangkurat I
kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masa pemerintahannya,
wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh Belanda. Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah
tidak lagi berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada
tahun 1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti: Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat
di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan
Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono
III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan
sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir
dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit,
muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha,
dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal
adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti
perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam
yang berdasarkan perhitungan bulan.
f. Kerajaan Banten
Maulana Hassanudin,
Salah satu Raja Banten (Ilustrasi: Ist)
Kerajaan yang
terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan
Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah.
Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah
salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah
di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean
dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun
1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin
diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah
Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari
Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522-1570).
Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah
yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia,
Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten
berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten
juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
(1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat
Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang
laku di pasaran dunia.
Sultan
Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580). Pada masa
pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan. Pangeran Yusuf
kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar Kanjeng Ratu
Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi raja. Oleh sebab
itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad dibantu oleh
Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang Palembang. Dalam
pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur.
Maulana
Muhammad kemudian digantikan oleh putranya Abu'lmufakhir yang baru berusia lima
bulan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu'lmufakhir dibantu oleh
Jayanegara. Abu'lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu'ma'ali Ahmad Rahmatullah.
Abu'ma'ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1692).
Sultan Ageng
Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju dengan pesat.
Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671 mengangkat purtanya,
Sultan Abdulkahar, sebagai raja pembantu. Namun, sultan yang bergelar Sultan Haji
berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak menyukai hal itu
berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak berhasil karena
Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang saudara. Sultan Ageng
Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian, lambat laun Banten
mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada di bawah
kekuasaan Belanda.
g. Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang
terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah
seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah.
Syarif
Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya
di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif
Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah
diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk
menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif
Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean.
Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya. Pada tahun 1679,
Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan
Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman
dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian,
kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.
h. Kerajaan Makasar
Kerajaan Makasar
yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan
Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi
raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana
menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di Makassar,
Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena
posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa
dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah.
Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah
Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja yang
terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin
berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa
dan sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia
Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda
sehingga sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda.
Belanda kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone.
Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di
Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui
sebagai Raja Bone.
Sultan
Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa
lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi
Selatan. Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan
perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran.
Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya
di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa,
dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu
membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena
memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan
Indonesia Timur, disusunlah Ade'Allapialing Bicarana Pabbalri'e, sebuah tata hukum
niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna Gappa.
i. Kerajaan Ternate
dan Tidore
Ternate
merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja
Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur
sebagai raja. Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para
pedagang karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat
berkembang berkat hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan
Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung
selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan
berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan.
Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya
dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521
menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan
berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian
terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli
hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa
itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka.
Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun (1550-1570).
Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun dibunuh
oleh Portugis.
Setelah sadar
bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan
Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa
pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak terlepas
dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan
Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu,
Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan
Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai
di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan. Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.
Sumber : SETIAWAN, Didang. Pengetahuan sosial 1: SMP/MTs kelas
VII/Didang Setiawan — Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional,
2008.